Timbangan Buku Trilogi Karya Guru Senior Teguh GW

Saya menyesal telah membaca trilogi ini!

Demikianlah, harapan penulisnya telah terkabul. Dalam pengantarnya yang diberi judul "Catatan Kecacatan", di alinea terakhir, beliau berharap reaksi pembaca setelah membaca buku ini adalah : menyesal!

Tapi penyesalan saya adalah sesal positif. Saya menyesal kenapa tidak dari kemarin-kemarin merekam jejak hidup seperti yang dilakukan guru saya ini. Bahkan Kang Gw  yang kang guru ini berhasil dengan manis merekam 3 hal sekaligus : Pikiran, Pemeranan, dan Pelesiran. Cakep! Bahkan ditambahi diksi : Liar, di belakangnya. Kan, itu merdeka banget. Syukurlah, karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Haha...

Kalau ditotal, tebal 3 buku ini ada 400-an halaman. Dan saya sudah khatam mendarasnya dalam waktu 3 hari. Satu buku satu hari. Sehabis membaca direnungi, tak terlalu buru-buru, supaya isinya bisa jadi inspirasi.

Buku Pikiran Liar, adalah yang saya baca pertama kali. Kenapa pertama? Biasalah, sebab ada adagium, saya berpikir maka saya ada. Maka, kalau ingin berkenalan dengan beliau mulailah dari pemikirannya. Meskipun justru, ini adalah hal yang paling tidak terlihat alias abstrak dalam diri seorang manusia.

Saya mengamini pemikiran beliau pada "Hewan Paling Liar". Hewan paling liar ternyata bukanlah makhluk berwujud hewan, tapi kita, manusia, the homo sapiens. Dan,  menurutku malah itulah keistimewaan manusia, karena dengan analogi yang sama, kalimat menjadi "manusia paling liar" tidak dapat dinisbatkan kepada hewan, pasti tetaplah berwujud manusia. Jadi, manusia bisa disebut hewan, tapi hewan tidak dapat disebut manusia.

Juga, ketika beliau menggugat redaksional "Doa untuk Orang Tua". Karena doa itu menggunakan diksi "hanya". Jadi, seorang muslim biasanya mendoakan orang tuanya agar Allah mengasihi mereka,  tapi "hanya" sebagaimana saat orang tua mengasihi kita di waktu kecil. Lha kok hanya saat kita kecil? Tidak seluruh hidup anak?. Dalam pengembaraan pikirannya, yang semula menggugat lambat Laun akhirnya menerima jua. Penerimaan ini bagi saya adalah bukti ketundukan pada Allah. Sebagaimana beliau, maka saya pun mestinya ikut tunduk.

Ada "Guru Pamong", ide beliau yang ini memenangkan juara menulis artikel Kemdikbud tahun 2019. Isinya, tentang profil guru yang membina guru untuk pendidikan bermutu.

Di buku Pemeranan Liar, saya takjub dengan peran dan sumbangsih beliau yang telah malang melintang dalam dunia pendidikan selama 3,25 windu terakhir. Begitu durasi yang beliau tulis. Total berapa tahun tuh? Lamalah, intinya ya...

Di sini, kentara sekali sudah banyak karya yang beliau torehkan, khususnya dari dan di markasnya di LPI Hidayatullah, Banyumanik, Semarang. Dari gurunya murid kemudian menjadi gurunya guru. Fokus pada pengembangan kualitas guru, karena posisi beliau terakhir ini di pengembangan SDM dan Diklat.

Saya tertegun, pada tulisan yang kira-kira judulnya Guru Kurang Pelatihan atau Kurang Latihan? Betul juga. Timpang salah satu dampaknya tidak enak. Kalau banyak latihan atau terlatih tapi kurang pelatihan, ilmunya tak bertambah, hal-hal kekinian jadi tak terjamah. Tapi, jika banyak ikut pelatihan namun tak terlatih sama saja dengan omon-omon. Jadi, idealnya, terpenuhi dua-duanya, akrab dengan pelatihan dan terlatih karena latihan. 

Saya mendapat inspirasi ketika menyimak bagaimana beliau menggunakan alat peraga sepeda untuk menjelaskan SOTK, struktur organisasi di sekolah. Umumnya yayasan akan menegaskan garis top-down, atasan-bawahan, atau aturan-aturan yang banyak. Tapi sepeda, itu ide brilian, karena jatuhnya adalah saling menghargai berbagai peran yang berbeda. Tidak ada yang merasa paling penting di antara yang lain. Semua penting. Keren!

Di Pelesiran Liar, ada cerita tentang tunggangan Win Air 100 yang menjadi ikon beliau. Saya sering lihat Win Air ini, terutama pagi saat gowes nanjak Sigar Bencah. Win Air yang khas. Belakangnya diberi tambahan rak, supaya bisa membawa kotak boks atau berkas-berkas. Rupanya kalau hari libur, Win Air ini bisa merambah kota-kota. Dimulai dari Wonogiri lalu melanglang buana kemana-mana.

Di bagian ini, saya juga menemukan SKSD . Bukan Sok Kenal Sok Dekat, tapi Sekali Kawan Selamanya Dulur. Atau bisa juga Seneng Keluyuran Sakarepe Dewe, bahkan bisa juga Sesuk Kerjo Saiki Dolan. Mereka adalah tim kanca dolan Win Air 100 ini.

Sebagai penutup, saya mau mengucapkan terima kasih untuk sesal positif dan inspirasinya. Juga ilmu kebahasaan yang ada didalamnya. Diksi-diksi yang menggigit seperti : keberagaman dan keberagamaan. Beda satu huruf a, tapi jadi beda makna. Juga ada Corector dengan Coret-coret kotor, dan lain-lain.

Sayangnya, buku ini tidak dapat dibaca dengan satu tangan. Karena formatnya yang memanjang jadi perlu 2 tangan untuk memegangnya atau diletakkan di atas meja. Merepotkan, terutama jika punya kebiasaan membaca buku sambil ngopi atau ngeteh, dijamin tidak bisa dilakukan. Hehe..

Last, tetap salut sih dengan kesabaran menulisnya dan mengumpulkan naskah-naskah dari 2012 hingga 2024 lalu mengkompilasinya dan menyajikannya. Inilah profil guru sejati!

Barokallahu fiik...









Comments

Popular Posts