Mengenang Djawahir Muhammad Lewat "Ngrasani Kang Hir"


Sore itu (14/01) saya baru saja masuk rumah ketika Pak Ipul (Syaiful Bahri) memberi kabar ada acara haul mengenang Ki Djawa (Djawahir Muhammad). Lalu menanyakan apakah bisa hadir. Lokasinya di TBRS.

"Insyaallah, pak", jawab saya menyanggupi. Rencana, habis Isya, saya akan nyamperin pak Ipul dan meluncur ke TBRS. Meski badan pegal-pegal, kalau soal Ki Djawa saya siap hadir. Ada banyak momentum bersama beliau yang sudah saya lewati, bahkan sejak zaman kulaih.

Sebagai budayawan, sastrawan, dan sejarawan muslim, terlebih tentang Semarangan, sosok Ki Djawa tak tergantikan, bahkan hingga saat ini. Meskipun sedikit, tapi saya pernah membantu beliau menyelesaikan karya disertasinya, dalam bentuk mengisikan cartridge tinta printernya. 

Saya juga pernah kena omelannya. Ketika itu, di sebuah acara, di sebuah kafe, beliau marah karena menurut beliau saya kurang sopan, karena saat beliau ngomong, saya malah mainan hape. Saya terkejut. Sebab, sebenarnya yang terjadi, adalah saya sedang mencatat setiap omongan beliau di aplikasi Note hape saya. Jadi, saya sedang membuat notulensi, bukan mainan hape. Tapi untuk menjelaskannya, saya tak sampai. Karena, respek saya  kepada beliau, sebagai orang tua. Saya hanya menelan ludah saja. Biarlah nanti malaikat yang menyampaikannya kepada beliau. Maafkan saya, ya pak...

Dalam perjalanan, ingatan saya terus menuju ke Ki Djawa. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol tentang beliau. Sampai di Kedungmundu, seberangnya rumah sakit UNIMUS, hujan tiba-tiba turun. Kami segera menepi, karena terlalu deras untuk diterabas. Setidaknya, 30 menitan kami menunggu di emperan sebuah toko waralaba. Pak Ipul menhubungi panitia, memberitahu posisi yang tertahan. Dari sana, dijawab, acara sudah dimulai. Ya, tidak mengapa. Bila reda, kami akan lanjutkan perjalanan meskipun dapat sisa-sisa acara.

Setelah mereda, masih sedikit gerimis, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tiba di TBRS (Taman Budaya Raden Saleh di jalan Sriwijaya, tepatnya di aula kantor Dekase (Dewan Kesenian Semarang), sudah  banyak orang yang berkumpul, dalam temaram, khas suasana teater.

Setidaknya, sekitar 70 hadir di acara itu, hampir semua seniman Semarang Tempo Doeloe, ada beberapa generasi muda, tapi umurnya mungkin sudah 40 tahun. Selain, membacakan riwayat Djawahir Mohamad (yang akrab dipanggil Kang Hir, namun saya khusus menyebutnya Ki Djawa). Juga ada ulasan tentang perjalanan budaya Semarang, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan rasan-rasan lainnya.

Di depan khalayak, tampil Rukardi, sejarawan dan wartawan Suara Merdeka yang mengupas sosok Djawahir Muhammad. Juga ada Pak Item, sejawat almarhum Ki Djawa, dan Kelana Siwi sebagai moderator. Tampil juga memberi sambutan mas Achyar, lalu Adiens, dosen antropologi Undip dan budayawan muda Semarang, serta beberapa mantan anggota Aktor Studio, yang dulu didirikan dan dipimpin Ki Djawa. O ya, hadir juga Dr Bondan, anak sulung Ki Djawa, sayang saya tidak mendengar sambutannya.
Saya bertemu beberapa orang, diantaranya: Pak Ben, Heroe Risdianto , Budi Wahyono, Agung Wibowo , "Si Hantu Laut", Beno Siang Pamungkas, Selamet Unggul, dan lainnya. Juga Bu Ambar, guru yang selalu hadir dalam acara kesenian, sastra, dan budaya di Semarang.

Menjelang pulang, kami dipersilakan untuk mengambil beberapa buku gratis yang disediakan panitia di meja luar karya pak Bambang Sadono, wartawan yang juga penulis. Saya mengemabil beberapa dan menhaturkan terima kasih.
Saya kutip kata Pak Ipul, "Semoga ada acara seperti ini berikutnya. Seperti Mengenang Handry TM, Mengenang Agoes Dhewa, Mengenang Agus Maladi, dan lain-lainya. Yaitu para seniman Semarang yang sudah meninggal. Sehingga bisa memantik acara-acara budaya selanjutnya di Semarang".
Sumber foto : dari FB Pak Ipul, Bu Ambar dan hape saya.





Comments

Popular Posts