Mengenang Djawahir Muhammad Lewat "Ngrasani Kang Hir"
"Insyaallah, pak", jawab saya menyanggupi. Rencana, habis Isya, saya akan nyamperin pak Ipul dan meluncur ke TBRS. Meski badan pegal-pegal, kalau soal Ki Djawa saya siap hadir. Ada banyak momentum bersama beliau yang sudah saya lewati, bahkan sejak zaman kulaih.
Sebagai budayawan, sastrawan, dan sejarawan muslim, terlebih tentang Semarangan, sosok Ki Djawa tak tergantikan, bahkan hingga saat ini. Meskipun sedikit, tapi saya pernah membantu beliau menyelesaikan karya disertasinya, dalam bentuk mengisikan cartridge tinta printernya.
Saya juga pernah kena omelannya. Ketika itu, di sebuah acara, di sebuah kafe, beliau marah karena menurut beliau saya kurang sopan, karena saat beliau ngomong, saya malah mainan hape. Saya terkejut. Sebab, sebenarnya yang terjadi, adalah saya sedang mencatat setiap omongan beliau di aplikasi Note hape saya. Jadi, saya sedang membuat notulensi, bukan mainan hape. Tapi untuk menjelaskannya, saya tak sampai. Karena, respek saya kepada beliau, sebagai orang tua. Saya hanya menelan ludah saja. Biarlah nanti malaikat yang menyampaikannya kepada beliau. Maafkan saya, ya pak...
Dalam perjalanan, ingatan saya terus menuju ke Ki Djawa. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol tentang beliau. Sampai di Kedungmundu, seberangnya rumah sakit UNIMUS, hujan tiba-tiba turun. Kami segera menepi, karena terlalu deras untuk diterabas. Setidaknya, 30 menitan kami menunggu di emperan sebuah toko waralaba. Pak Ipul menhubungi panitia, memberitahu posisi yang tertahan. Dari sana, dijawab, acara sudah dimulai. Ya, tidak mengapa. Bila reda, kami akan lanjutkan perjalanan meskipun dapat sisa-sisa acara.
Setelah mereda, masih sedikit gerimis, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tiba di TBRS (Taman Budaya Raden Saleh di jalan Sriwijaya, tepatnya di aula kantor Dekase (Dewan Kesenian Semarang), sudah banyak orang yang berkumpul, dalam temaram, khas suasana teater.
Setidaknya, sekitar 70 hadir di acara itu, hampir semua seniman Semarang Tempo Doeloe, ada beberapa generasi muda, tapi umurnya mungkin sudah 40 tahun. Selain, membacakan riwayat Djawahir Mohamad (yang akrab dipanggil Kang Hir, namun saya khusus menyebutnya Ki Djawa). Juga ada ulasan tentang perjalanan budaya Semarang, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan rasan-rasan lainnya.
Comments
Post a Comment