Cover buku |
Guru itu mengajar, tetapi dalam keadaan tiwikrama seorang guru bisa juga menggugat aktualitas dan kualitas pendidikan khiwari. Sebab sebagai guru, dia bukan saja obyek pendidikan, tetapi juga subyek pendidikan. Sebagai obyek karena dia adalah sasaran peraturan pemerintah dan regulasi birokrasi, tetapi sebagai subyek dia punya “kemerdekaan untuk menyatakan pendapat” sebagai diberikan kesempatan dalam Kurikulum 13 (K-13). Apalagi sebagai anggota masyarakat, dia boleh mengkritik dunia pendidikan, meski akhirnya gugatan itu menjadi oto-kritik.
Hal itulah yang dilakukan Doni Riadi (40), guru di Sekolah Alam Ar-Ridho Semarang dalam menggoreskan penanya di buku bunga rampai yang diberi judul “Cukup Pahamilah Saja” (2018). Buku ini menghimpun 28 tulisan dari berbagai ragam masalah pendidikan yang ditulis dalam kurun 10 tahun karier kepenulisannya di media massa maupun media social. Meski ditulis dalam berbagai sudut tilikan maupuan tema dan topic, tetapi ada benang merah yang dihasung seorang guru mantan demonstran sekaligus seniman penulis, yaitu sekolah “Laskar Pelangi + Toto-Chan + Qaryah Thoyyibah”. Memang terjemahannya agak sulit, tetapi Doni Riadi Embunpagi – nama akunnya di Fesbuk – telah menemukannya di dalam Sekolah Alam Ar Ridho dan “Sekolah Impian Seluas 2-3 Lapangan Bola” (Epilog: Mimpi Sang Guru, h. 167-170).
Supaya dalam belajar-mengajar itu siswa tidak “mati kutu” dan guru tidak “mati gaya”, maka harus dilakukan pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman. Melalui metode ini, siswa sebagai subyek diajak melakukan beragam kegiatan pembelajaran, baik di sekolah maupun luar sekolah. Siswa lebih didekatkan pada kehidupan alam. Inilah yang disebut dengan “Belajar Bersama Alam” (h. 55).
Doni Riadi yang terpilih menjadi juara I Guru Berprestasi Tingkat Kota Semarang 2018 adalah pribadi yang mengikuti Sunnah Nabi SAW, “Carilah ilmu hingga ke negeri Cina”. Negeri Cina dalam hal ini adalah tempat yang jauh. Pak Guru Doni juga belajar pendidikan Finlandia, meski lewat Allan Schneitz aktivis pendidikan Dream School Finladia yang berkunjung ke Sekolah Alam Ar Rido. “Untuk pendidikan dasar, jam belajar sekolah Finlandia hanya 4-5 jam sehari, lebih banyak bermain dan bersosialisasi. Jam istirahat mereka 4-5 kali. Tidak ada PR. Kalaupun ada PR hanya memperlukan waktu 10 menit untuk mengerjakannya. Walaupun begitu, kualitas pendidikan mereka tetap menjadi juara.” (h. 60-61).
Apa yang saya resensi dari beberapa tulisan Doni Riadi hanya sekilas dan bersifat provokasi, sebab aslinya lebih menggigit dan mencekam jantung perhatian kita kepada pendidikan. Namun sekadar tahu saja, Anda bisa membayangkan dari judul-judul artikelnya: “Peran Pendidikan Agama: Mengapa Harus Bunuh Diri?”, “Bila Kepercayaan Itu Hilang: Wajah Birokrasi Pendidikan Negeri Kita”, “Sekolah Orang Tua”, “Guru ‘Go Blog’, Kenapa Tidak?”, “Pementasan Drama Guru”, “Belajar Bersama Alam”, dan lainnya.
Karena itu, saya anjurkan, luangkan waktu untuk membaca buku ini. Sadarilah bahwa dunia pendidikan kita sudah berubah, dan buku ini bisa sebagai pemandu perubahan itu. (sb).
Ditulis oleh : Saiful Bahri
Admin Grup FB "Kabar-e Semarang"
0 komentar:
Posting Komentar