Hingga akhir
Desember 2012 nanti, Kemendiknas menggelar uji publik terhadap Kurikulum 2013.
Jika segalanya berjalan lancar, maka pada Juni 2013, kurikulum yang disebut
sebagai penyempurnaan Kurikulum KTSP 2006 ini akan diberlakukan. Dalam berbagai
kesempatan, Mendiknas, M. Nuh mengatakan bahwa kurikulum 2013 adalah kurikulum
saintifik yang membentuk siswa menjadi analitik, suka mengamati, sigap
bertanya, kritis, dan memiliki daya cipta. Kurikulum ini adalah jawaban dari banyak
kritikan bahwa siswa Indonesia hanya pandai dalam menghafal pelajaran.
Sejarah
pengembangan Kurikulum di Indonesia dimulai tahun 1947 yang bernama Rencana
Pelajaran. Lalu Kurikulum Sekolah Dasar
1968, Kurikulum Sekolah Dasar 1978, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Rintisan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
2004, dan terakhir yang digunakan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) 2006.
Landasan yuridis
pengembangan kurikulum 2013 adalah UU Sisidiknas No. 20 tahun 2003, RPJMN
2010-2014 sektor pendidikan, dan Inpres No. 1 tahun 2010 yang berisi
Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional: Penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif
berdasarkan nilai-nilai Budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter
bangsa.
Dalam bahan uji public
kurikulum 2013, Kemdiknas memuat
evaluasi dan kritik publik terhadap pelaksanaan kurikulum 2006. Beberapa permasalahan kurikulum 2006 ini
menjadi alasan kuat perlu adanya penyempurnaan kurikulum 2006. Masalah itu
diantaranya adalah : (1) konten
kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya matapelajaran
dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat
perkembangan usia anak, (2) kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan
& pengetahuan, dan (3) kurikulum belum peka dan tanggap terhadap
perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
Secara prinsipil
elemen perubahan yang ada di kurikulum 2013, untuk SD, adalah : holistik dan
tematik integratif berfokus kepada alam, sosial dan budaya , pembelajaran
dilaksanakan dengan pendekatan sains, jumlah matapelajaran berkurang dari 10 menjadi 6 namun jumlah jam bertambah
4 JP/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran. Sementara untuk SMP, TIK
menjadi media semua matapelajaran. Pengembangan diri terintegrasi pada setiap matapelajaran dan
ekstrakurikuler. Jumlah matapelajaran
juga berkurang dari 12 menjadi 10 dan Jumlah jam pelajaran bertambah 6
JP/minggu.
Secara
filosofis, untuk jenjang pendidikan dasar,
Kemdiknas hendak memperbaiki pola pikir yang seharusnya sudah sejak dulu
dipegang, yaitu : menempatkan IPA
dan IPS pada posisi sewajarnya bagi anak
SD yaitu bukan sebagai disiplin ilmu melainkan sebagai sumber kompetensi untuk
membentuk sikap ilmuwan dan kepedulian dalam berinteraksi sosial dan dengan
alam secara bertanggung jawab. Hal baru lainnya, Kemdiknas akan membuat
semacam Buku Induk atau Buku Babon untuk guru yang berisi Silabus, Panduan
Pembelajaran dan Penilaian Mata Pelajaran.
Timbangan
Yuridis. Pengintegrasian IPA dan IPS dalam Mapel lain
ternyata berpotensi bertentangan dengan
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2004 pasal 37 ayat 1, yang jelas menyebutkan
bahwa kurikulum Dikdasmen wajib memuat : pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan,
bahasa , matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan
olahraga, keterampilan/kejuruan, dan
muatan lokal. Pengintegrasian IPA dan
IPS ini tentu menjadi multitafsir, karena itu untuk benar-benar dapat
melaksanakan ide ini, Kemdiknas sebaiknya memiliki payung hukum, minimal
berwujud PP. Sebab, di pasal 36 ayat 4 UU yang sama, syarat pengembangan
kurikulum adalah pengaturan lebih lanjut
dalam PP.
Tematik Integratif. Penerapan
metode tematik integratif berbasis sains di jenjang pendidikan dasar sebenarnya
selaras dengan psikologi perkembangan anak-anak. Dalam Indrawati (2009), pembelajaran terpadu bersifat pro anak,
karena ciri yang dimilikinya, yaitu : holistik, bermakna, dan aktif. Sehingga. prinsip ini
bisa diterapkan dari kelas 1 hingga kelas 6, namun dengan sedikit
perbedaan. DI jenjang kelas kecil (1,2,
dan 3) IPA dan IPS dapat diintegrasikan dalam Mapel yang lain, akan tetapi
untuk kelas besar (4,5, dan 6), sebaiknya IPA dan IPS tetap berwujud
Mapel. Muatan materi sains yang mulai
spesifik menuntut adanya penjelasan yang lebih terstruktur. IPA dan IPS dalam
wujud Mapel ini tetap akan bisa terpadu mengacu pada tema yang telah
ditentukan, dengan cara menyusun rencana belajar (lesson plan) yang baik di setiap awal semester. Di acara
penyusunan rencana belajar inilah, guru kelas dan guru bidang studi (IPA dan
IPS) berbagi tugas, khususnya jadwal mengajar.
Analog dengan
integrasi IPA dan IPS, pada dasarnya pembelajaran Pendidikan Agama pun dapat
diberlakukan serupa, khususnya Pendidikan Agama Islam. Problem klasik PAI bahwa siswa pandai PAI secara kognitif namun lemah di pengamalan
akan terjawab dengan diintegrasikannya PAI di setiap pelajaran dan kesempatan.
Sebagai
perbandingan, di sekolah dasar yang mengintegrasikan PAI, Standar Kompetensi
(SK) Al-QURAN diterapkan dengan memberikan jam khusus pelajaran Membaca
Al-Quran, dengan berbagai metode seperti Qiroaty atau Iqro. Kemudian SK FIKIH
berupa sholat berjamaah, terkadang dengan bacaan yang dikeraskan, terutama di
kelas kecil (kelas 1-3). Barulah untuk SK AQIDAH-AKHLAK, diintegrasikan secara
tematik dalam pelajaran yang lain, seperti Sains dan Bahasa. Pemisahan PAI
sebagai Mapel khusus biasanya diterapkan di kelas besar (kelas 4-6), khususnya
Fikih. Itupun dengan lingkup Fikih dasar seperti belajar Bab Thaharah dan
Sholat. Mengapa demikian? Karena cara belajar agama yang paling mudah dan
efektif, bagi anak-anak usia pendidikan dasar adalah dengan cara keteladanan
dan integratif.
Sayangnya,
kurikulum 2013 belum memberi ruang soal ini. Pendidikan Agama masih seperti
sebelumnya dengan durasi waktu sekali pertemuan dalam seminggu. Jika
dikonfrontasikan dengan kebutuhan masa kini yang semakin menghargai kecerdasan
transedental (ruhaniah) dan memberi ruang pada religiositas, maka kurikulum
2013 belum memberi angin segar bagi pendidikan karakter manusia Indonesia
seutuhnya.
Assesment.
Pendekatan tematik integratif dan orientasi pada pembentukan
karakter, melahirkan konskuensi metode assessment baru. Raport yang hanya
berwujud angka seperti yang berlaku sekarang ini tidak akan mampu memotret
secara utuh progress prestasi siswa.
Diperlukan minimal dua raport. Raport kognisi yang memotret kemampuan akademis siswa
dan raport portofolio yang merekam hasil
dan proses kerja/belajar siswa. Beberapa sekolah bahkan menambahkannya dengan
raport naratif yang berisi obesrvasi guru terhadap perilaku atau karakter
siswa.
Evaluasi akhir
pun, dapat berubah dari sesuatu yang ditakuti siswa menjadi yang paling ditunggu-tunggu
siswa karena berwujud seremoni besar dan
meriah. Ia dapat berupa Fair/Pameran
seperti Science Fair, atau berupa Unjuk Kerja, Gelar Karya, dan dan
sejenisnya. Di sini, orang tua dan juga para stakeholder pendidikan dapat
melihat kemampuan siswa menampilkan apa yang telah mereka pelajari di sekolah.
Acara biasanya ditutup dengan diskusi privat antara guru kelas dan
masing-masing orangtua murid, terkait perkembangan siswa. Pertanyaannya,
mampukah guru-guru Indonesia mengubah kebiasaannya, dari yang semula
berorientasi pada hasil (nilai) menjadi
berorientasi pada proses dan hasil (attitude kerja)?
Satu
hal yang mengganjal, kurikulum 2013 juga tidak memberikan ruang pembahasan
terhadap UAN. Padahal, selama UAN masih
ada, maka diyakini selama itu pula akan selalu ada tingkat kelas terakhir di
setiap jenjangnya (kelas VI, IX, dan XII) yang menjadi kelas karantina. Disebut
kelas karantina, karena keasyikan belajar tematik integratif tidak berlaku di
kelas ini. Di kelas karantina, orientasinya adalah belajar adaptasi terhadap
soal-soal UAN agar sukses UAN. Hal ini menjadi paradoksal, karena seharusnya
kelas tertinggi adalah representasi dari siswa dengan pengetahuan paling mahir
dan berperilaku paling mulia. Namun, yang terjadi, kelas tertinggi mewakili
kondisi siswa yang justru “bertegangan tinggi” dengan tingkat stress yang
paling tinggi, berikut guru dan orang tuanya.
Cara Belajar. Cara belajar secara
signifikan akan berubah. JIka orang tua selama ini terbiasa dengan satu jadwal
yang berlaku untuk satu semester bahkan satu tahun, maka di kurikulum tematik
integratif, jadwal pelajaran hanya berlaku selama tema itu berlangsung. Jika
sebuah tema telah habis masanya, maka otomatis akan ada jadwal baru lagi.
Adanya perbedaan jadwal di tema yang berbeda ini, disebabkan karena perbedaan
titik tekan materi yang ingin dipelajari. Namun hal ini dapat disiasati dengan
mengkopi rencana belajar mingguan (weekly plan) dalam satu semester atau
minimal satu tema. Dengan memiliki rencana belajar mingguan, orang tua dapat mengawal pembelajaran anaknya, bahkan
dengan tingkat kedetailan yang lebih tinggi dari sekedar jadwal pelajaran
biasa. Pertanyaan untuk guru adalah,
mampukah guru menyiapkan rencana belajar (lessonplan)
hingga satu semester dengan tingkat
kedetailan hingga weekly (mingguan)
dan atau daily (harian), yang akan
menjadi panduan bagi orang tua untuk
membantu belajar anaknya di rumah?
Yang
menjadi catatan berikutnya, adalah seberapa dalam penelitian penentuan
tema-tema yang akan digunakan nantinya. Dalam pembelajaran tematik integratif,
penentuan tema menjadi titik krusial. Kekeliruan dalam menentukan tema dan
batasan kedalaman pembahasan akan menghasilkan pembelajaran yang tidak tepat
sasaran. Dalam bahan uji publik kurikulum 2013 ini, belum dilampirkan daftar
tema yang mungkin akan digunakan terutama di jenjang SD, sehingga publik belum
dapat memberikan tanggapan atau saran terhadap kompleksitas tema. Walaupun
secara garis besar, cakupan pembahasan telah diberikan. Yaitu seputar: Diri
Sendiri, Keluarga, Lingkungan dan Bumi (Semesta). Karena itu akan lebih
bijak, jika kurikulum 2013 ini tetap
memberikan keleluasaan bagi sekolah
untuk memilih tema yang sesuai dengan karakter sekolah dan kebutuhan siswa.
Jadi, Kemdiknas dapat menyediakan semacam bank tema, yang dapat dipilih dan
diolah oleh setiap tingkat satuan pendidikan.
Mengingat
betapa kurikulum 2013 ini berbeda signifikan dari kurikulum sebelumnya dan
membutuhkan dukungan penuh terutama dari guru, maka sebaiknya Kemdiknas
menggelar Uji publik yang kredibel, melibatkan
organisasi-organisasi guru, sosialisasi masif, dan tidak terburu-buru
menerapkannya di awal tahun ajaran baru Juni 2013. Mengubah kurikulum ibarat
memindahkan gunung. Kekuatan Kemdiknas sepihak tidak akan membuat ‘gunung’
beringsut.
Berikut Bahan Uji Publik Kurikulum 2013 yang diunduh dari laman Kemdiknas :
0 komentar:
Posting Komentar