selama kita cuma diam dan nggak berbuat apa-apa, selamanya dia tetap menjadi hantu,
nggak akan pernah jadi kenyataan."
(kata Luhde pada Keenan, dalam "Perahu Kertas" karya Dee, hlm. 221)
---
Dalam tiga hari ini, novel setebal 442 halaman besutan Dee (Dewi Lestari) yang dilaunching 29 Agustus 2009 lalu (kebetulan, tepat di Harlahku), selalu menemani waktu luangku. Kubaca di 3C, kelasku mengajar, membacanya saat istirahat didepan murid-muridku. Juga saat menunggu anak-anak 4C selesai hafalan untuk kemudian belajar English bersamaku. Bahkan, disaat debat pada rapat rutin guru, aku menyempatkan untuk membacanya, lumayanlah dapat dua-tiga bab. Dan aku kemudian menamatkannya sambil mendampingi murid les privatku di suatu malam. Ya, mau gimana lagi, sekarang ini, waktu khusus dan sepi untuk membaca buku tebal sudah tak ada lagi. Mencuri-curi waktu dan kesempatan adalah satu-satunya cara agar bisa mendaras buku.
Jujur, aku menyesal sekali baru membaca buku yang diterbitkan Bentang dan Truedee itu sekarang. Meski telah mendengar bahkan sempat pula menimang-nimang bukunya sejak lama, aku tidak juga membacanya. Barulah ketika kulihat buku ini dimeja Bu Tatik jelang mengajar Ekskul Menulis di Spalza pekan lalu, aku menggamitnya lagi. Seolah ada tangan yang menuntunku untuk membawanya. Bu Tatik malah menyertakan satu novel tebal lagi, berjudul "Centhini". Yang terakhir ini, (insyallah) akan kutulis dalam postingan yang berbeda.
Baru membaca beberapa halaman, khususnya halaman perkenalan tokoh utama, Keenan dan Kugy, aku langsung mengerti, bahwa buku ini adalah buku yang harus kubaca hingga usai. Alam semesta dengan caranya telah menggiringku untuk menyelami novel ini, kata demi kata, jiwa demi jiwa. Dan pada malam ketiga, usai menamatkannya adalah malam yang terasa panjang bagiku. Ada sejumput keletihan bercampur dengan rindu, mungkin juga kekosongan atau lebih tepatnya kegersangan, 'arsip-arsip' yang telah kurapikan seolah terbongkar kembali... berantakan, dan meluluhlantakan. Dalam dingin malam perjalanan pulang ke rumah, mataku terasa panas dan leherku tercekat. Aku sampai harus berhenti di sebuah toko swalayan untuk sekedar mencari air untuk membasahi kerongkonganku. Meski aku tahu baru saja tadi aku disuguhi teh hangat oleh murid lesku.
***
Ya, Dee telah berhasil memantik kecemburuanku pada sosok Keenan. Meski ini dunia fiksi-imajinasi, tapi sosok Keenan yang diciptakan Dee, sesungguhnya adalah sebuah pengharapan bagaimana mestinya menjadi laki-laki. Punya tujuan hidup, meski sempat hilang arah dan mengorbankan hal yang begitu berharga dalam hidup. Dalam konteks Keenan, ketulusan cinta lingkungan terdekatnyalah yang kemudian perlahan membuatnya bangkit kembali hingga ia berhasil memungkasinya dengan sempurna. Cinta yang murni atau kemurnian mencintai. Entahlah, ... mana yang hendak lebih utama dikatakan Dee. Tapi aku setuju dengan 'ending' yang dibuat Dee.
Bahwasannya, kesatuan dan kedekatan hati adalah sesuatu yang tak selalu bisa terkatakan. Dalam bahasaku, berdialog tanpa kata. Buatku, Keenan dan Kugy adalah pasangan ketiga setelah Ali & Fatimah ra. dan Ainun & Habibie yang merepresentasikan kekuatan cinta dalam dialog tanpa kata. Ya, esensinya sama, meski dalam novel ini, Dee menggunakan istilah yang berbeda : Radar Neptunus. Karena itu, Keenan dan Kugy berhak mendapatkan kebahagiaannya, dalam bahasa Dee : 'another little Kay dalam perut Kugy' sebagai manifestasi cinta tiada berujung Keenan dan Kugy (K&K).
Tinggallah, aku disini termanggut-manggut dalam kesunyian. Dalam beberapa 'scene', aku seolah-olah menjadi sosok Keenan. dan di 'scene' lain aku merasa menjadi Luhde dan Kugy. Campur aduk rasanya. Namun yang pasti, aku tahu satu hal, bahwa alam semesta sedang ingin menyampaikan pesannya padaku bahwa aku tak cukup menjadi pemberani dalam mengambil keputusan. Seakan ia hendak berkata, lihatlah Keenan... lihatlah Kugy... Belajarlah dari mereka!
Lalu, tiba-tiba aku merasa berada di dua dunia. Jiwaku terbelah dua... dan hasilnya adalah sebuah kelelahan. Rasanya lelah sekali... Sampai-sampai, sebuah pertanyaan diucapkan untukku,"Ayah, kok kelihatannya sedih banget...?". Pertanyaan yang justru semakin membuatku terpejam...
Terpejam, mencoba menghadirkan setetes embun pagi, yang buatku pribadi... telah lama sirna atau tepatnya kusirnakan. Ahhh, "dimanakah embun pagi itu kini berada?". Sama seperti gumam Keenan pada suatu waktu, "Kecil,... kenapa engkau terasa jauh sekali?". Sama seperti Kugy yang membutuhkan perahu kertas dan aliran air setiap kali ia dilanda 'emptyness', embun pagi buatku adalah sarana berkomunikasi dengannya. Ya, -nya dalam wujud seabsurd-absurdnya. Aku dan Kugy adalah jenis manusia yang tidak pernah bisa membagi utuh dalamnya zat bernama hati. Dalam sudut pandang ini, ruang sunyi Kugy pun menjadi serupa denganku.
***
Kehadiran "Perahu Kertas" dalam ruang rinduku, menyadarkanku hal penting lain, bahwa tidaklah Allah menganugerahkan hati (cinta) kepada manusia selain sebagai sumber energi untuk kehidupan. Mereka yang tak tertanam cinta didalam dadanya adalah manusia malang yang sebatas hidup jasadnya namun mati ruhnya. Representasi cinta kepada Allah adalah meletakkan cinta itu sebagai bahan bakar untuk berbuat kebaikan, berkarya sebaik-baiknya, dan tulus berkorban. Cintalah yang mampu menggerakkan kuas Keenan ke atas kanvas setelah lama kaku. Cinta jugalah yang menggerakan Kugy meneruskan cerita Jenderal Pilik dan Pasukan Alit. Dan buatku, cukuplah anak-anak muda di Solo dan Purwokerto, yang pernah mengundangku ke hadapan mereka 2-3 tahun lalu. Mereka adalah saksi hidup betapa cinta mampu menyulap seorang mantan demonstran menjadi pembicara yang aneh karena mendadak puitis. Bilamana itu diulang lagi dilain tempat dan dilain waktu, kujamin, aku belum tentu bisa lagi melakukannya...
Kalau saja, Kugy ada dihadapanku sekarang, mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti Remi, yaitu minta tolong Kugy menghanyutkan perahu kertasku agar dibaca Neptunus. Bila Kugy mau ia juga boleh membacanya. Dan jika ia melakukannya, maka ia akan membaca kalimat berikut,
:"Neptunus, terima kasih telah mengirim agen Kugy ke hadapanku. Darinya aku tahu, bahwa aku seharusnya bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk menikmati betapa indahnya ketulusan cinta setetes embun pagi, meski untuk waktu yang tidak lama. Doakan ya, semoga sisa-sisa percikannya tetap menjadi energi buatku membahagiakan orang-orang terdekatku... Untuk saat ini, cuma doa itu yang bisa kupanjatkan. Sampaikan juga pada Luhde, suatu saat aku akan bisa mengubah kenangan itu tidak lagi menjadi hantu di sudut pikir... hari pembuktian itu akan segera tiba!"
Semarang, 29 Juli 2011. 00:01
0 komentar:
Posting Komentar