"Bismillahirrohmaanirrohiim, kita semua yang ada disini, tolong ingat baik-baik hari ini, 24 Januari 2008. Ini adalah hari kelahiran Klub Fotografi di Sekolah Alam. Kelak walaupun kalian nanti telah menjadi alumnus, usahakan pada tanggal ini kita menengok ke Sekolah Alam untuk melihat bagaimana perkembangan Klub Fotografi. Sekarang, mari kita lahirkan ia dengan membaca surat kemenangan, Surat Al-Fatihah"
Sejenak kutarik nafas panjang. Yup, dihadapanku kini ada tujuh orang anak kelas 7 & 8, yang memutuskan untuk memilih Klub Fotografi sebagai pilihan klubnya. Mereka : Siddiq Uchiha, Boim, Shohif, Si BUlan-Huda, Fitri, Meutia, dan Ufi.
Mulai semester II ini, terinspirasi oleh SMP/SMA Alternatif Qaryah Thayyibah, SMP SA membuka beberapa klub keminatan. Waktunya setiap hari Kamis ba'da dhuhur hingga tak terbatas, bisa sampe asar bisa juga sampe maghrib bahkan berlanjut hingga malamnya. Hari Sabtu yang menjadi hari eskul juga bisa digunakan untuk melanjutkan kegiatan Klub. Aku berharap, justru dari klub inilah yang bisa menjadi pintu awal mereka mencintai sekolahnya, jika dari pelajaran reguler mereka merasa tertekan dan terbebani. Ya, mirip-mirip dengan klubnya Mahar dan Flo yang ada di Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Selain Fotografi yang kudampingi. Juga ada Klub Jurnalistik yang difasilitasi Pak Joko, Klub Farming-Gardening alias Tani Terpadu bersama Pak Sumari, Klub Menggambar bersama Pak Sigit, dan Klub Musikal bersama pak Deni. Sementara Bu Santi mendampingi Klub Handicraft, dan ada juga Klub Tata Boga-Busana yang diasuh oleh Bu Ismin Taukhid. Di luar itu ada Eskul Teater saban Sabtu yang diawaki pak Arifin, sang alumnus Gontor, namun fungky abis...
Bagi anak-anak SMP, hari Kamis mungkin menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu. Sebab di hari ini mereka bertemu dengan dunia yang mereka paling minati bagi diri mereka. Di sini, mereka bebas berekspresi dan mengembangkan diri, sesuai keminatbakatannya. Walaupun ada juga satu dua yang mengalami kegamangan. Gamang menentukan pilihan. Sebab, pertama, dia belum menemukan karakter dirinya sehingga proses pilihan klubnya sangat tergantung pada pilihan teman dekatnya. Atau yang kedua, karena memiliki keminatan lebih dari satu, semisal minat fotografi tapi juga enjoy di teater atau jurnalistik.
Menghadapi kasus yang pertama ini, kami para pendamping klub memberi waktu adaptasi selama sebulan bagi mereka untuk berpindah Klub hingga pada akhirnya bertemu dengan klub yang benar-benar sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Untuk kasus kedua, para pendamping telah bersepakat untuk bisa saling memanfaatkan resource sumber daya yang ada. Semisal jika teater membutuhkan pemain, ia bisa saja mengambil beberapa anak yang dibutuhkan dari klub fotografi sesuai kondisional atau kebutuhan, dan begitu juga sebaliknya, anak Klub Foto bisa menggunakan akftifitas teater sebagai obyek foto.
Dengan demikian, tidak ada kompetisi menang-kalah antar klub yang ada. Tidak ada klub yang lebih baik dari klub yang lainnya. Yang ada adalah kompetisi melawan dirinya sendiri. Mampukah ia menaklukan kesulitan dalam dirinya atau mencapai kemampuan tertinggi yaitu : berkarya (dalam kualitas masterpiece) bersama klub yang diikutinya itu.
Melukis dengan cahaya
Sesaat setelah membaca Surat Al-Fatihah, sebagai tanda kelahiran Klub Fotografi, anak-anak kuajak untuk berkontemplasi untuk menemukan niat utama dan pertama menguasai dunia fotografi. "Tadi pagi kita baru saja mengikat ayat-ayat Qauliyah Allah dengan cara men-tahfidz-kannya. Siang ini kita berkumpul disini sebenarnya tidak lain untuk mencoba mengikat ayat-ayat Allah yang lain, yaitu Ayat Qauniyah, yang terpampang jelas di hadapan kita, sejauh mata memandang. Jika seorang penulis mengikatnya dengan pena atau sekarang dengan keyboard, dan jika seorang pelukis mengikatnya dengan kuas dan cat, maka kita mengikat keindahan ayat Qauniyah-Nya dengan cahaya. Ya, kita akan melukis dengan cahaya, dan hanya untuk Allah..."
Maka, menit berikutnya, kami sudah asyik berdiskusi tentang cahaya dan kamera. "Ayo, kita berkenalan dengan cahaya, seperti pelukis yang kenal dekat dengan cat dan warna-warna. Kita kenali cahaya, sifatnya, intensitasnya, kekhasannya dan segalanya. Sebab, cahaya adalah elemen terpenting dalam fotografi. Tanpa cahaya tak ada foto, namun begitu hadir cahaya meski setitik seperti nyala korek api, maka saat itu pula foto bisa dibuat. Karena itu, atas kemampuan mata menangkap cahaya ini tidak ada kata lain selain alhamdulillah".
Jujur, belajar bersama dengan anak-anak yang memiliki keminatan yang sama sangatlah menyenangkan. Aura antusiasme begitu kuat terasa. Karena itu, aku memastikan posisiku sebagai teman bagi mereka, sebagai pihak yang suatu saat juga berhak belajar dari mereka. Sebab, jika mereka meletakkanku sebagi narasumber, maka bisa gawat akibatnya, sebab nantinya tanpa kehadiranku maka tiada pula aktifitas pembelajaran. Padahal pembelajar sejati, selalu bisa menjadikan apa saja sebagai guru dan sumber belajar. Dari titik berangkat yang seperti ini, aku yakin, antusiasme itu akan senantiasa terpelihara selama-lamanya.
Khusus untuk hari kelahiran Klub Fotografi ini, sebenarnya aku sudah menyiapkankannya sejak lama. Mulai dari merajut mimpi di semester satu, dengan semangat untuk mempersembahkan sesuatu yang baru pada anak-anak, sekaligus media belajar baru buatku, termasuk menyeleksi file foto demi foto yang kujepret selama kurun waktu dua tahun terakhir, khususnya selama satu bulan di liburan semester kemarin, dan yang terakhir membeli majalah Chip : Foto-Video terbitan terakhir. Bahkan saat Outing ke Rumah Pintar Jogja beberapa waktu sebelumnya, aku menyempatkan diri mampir ke Shopping berburu majalah foto bekas, walaupun seperti yang kuduga bakalan sulit mendapatkannya karena majalah foto tidak akan pernah dibuang atau dijual, sekali seseorang memiliknya. Bahasan soal foto selalu abadi, relevan, dan tidak pernah basi. AKu juga sudah mendownload ratusan megabyte e-book atau e-magazine tentang fotografi dari situs komunitas-komunitas foto, meski sebagian besar tentu saja berbahasa inggris. Dan yang terakhir, membuat sebuah reportase lengkap berjudul "Ada Cinta di Q-Tha", berupa perpaduan narasi dan foto, sebagai bahan contoh penggunaan fotografi untuk dunia pendidikan atau jurnalistik.
Hehe.. walau bagaimanapun aku tetap tak bisa melepaskan dunia writing dan jurnalistik, yang sudah kugeluti sejak masa kanak-kanak, sehingga yang paling mungkin adalah mengolaborasinya, jurnalistik-fotografi. Dan alhamdulillah-nya, moment istimewa bersama anak-anak Q-Tha di Salatiga terasa begitu spesial, sehingga dalam waktu dua hari nonstop aku berhasil menyelesaikan reportasenya. Dan kelak kemudian, menjadi inspirasi yang tak terbantahkan buat anak-anak untuk belajar fotografi.
Pertama, Satu-satunya Kamera.
"Pak, kameranya gimana pak?", si Bulan bertanya. Don't worry, kendala ini juga sudah tertemukan jauh-jauh hari sebelumnya. Dengan segment siswa dari kalangan menengah ke bawah, adalah tidak mungkin mewajibkan mereka untuk punya kamera one person one kamera.
"There's a will there's a way. Selalu ada jalan selama kita punya kemauan", jawabku mencoba menghilangkan keraguan di benak mereka. Idealnya, sebelum mereka mulai jepret-jepret, mereka mengenal dulu kamera digital, khususnya menu dan fasilitas, kelebihan dan kekurangannya. Sebab kamera yang satu selalu beda dengan kamera yang lain. Edisi 11/2007 Foto-Video yang kubawa, akhirnya cukup membantu. Selain disana ada foto-foto amazing yang diambil fotografer pro, juga ada penjelasan detail tentang kamera digital baik saku maupun DSLR.
"Kita jadikan kondisi ini sebagai mimpi kita. Hari kita memulai ini, kita cuma punya ini (sambil kuperlihatkan Canon Powershot A 460 yang 5 megapixel). Tapi, kamera ini cukup oke buat berlatih, tidak jelek-jelek banget tapi juga bukan produk terbaik. NAh, di masa depan, buat mimpi di kepala kita, masing-masing nanti punya kamera, minimal pocket digital. Pak Doni sendiri mimpinya punya DSLR sekelas Nikon D40 atau D70. Percayalah akan selalu ada jalannya..." ujarku lebih jauh, sambil melirik info kompetisi foto yang berhadiahkan kamera DSLR. Ah... seperti lagunya Iwan Fals, jalan masih teramat jauh... (tapi) mustahil berlabuh bila dayung tak terkayuh.
Di Mana Markas Klub Foto ?
Bila Ikal dan kawan-kawan di Laskar Pelangi punya pohon Fillicium sebagai basecamp berkumpul, maka aku melontarkan pada mereka (ah... lagi-lagi ide masih berasal dariku. Rabb, aku selalu sabar menunggu kehadiran diri mereka yang sesungguhnya, hingga ide-ide mereka mengalir mengalahkan ide-ideku) tentang pentingnya kita butuh tempat berkumpul dan berdiskusi. Lab. komputer yang sekarang dipakai ini tidak mungkin dipakai sebagai markas, karena ia dicintai oleh hampir seluruh murid, sehingga ini tempat bersama.
Sebenarnya aku bisa saja langsung memutuskan sesuatu tempat di sekitar sekolah buat dijadikan markas. Tapi, itu nggak bakalan mendidik, lagi-lagi karena idenya bukan lahir dari sanubari mereka, sering-sering begini secara nggak langsung akan membunuh inisiatif dan daya kritis mereka.
Kami keluar lab, dan mulai mencari-cari tempat spesial. Di Luar, rupanya anak-anak klub jurnalistik juga sedang mencari ide penulisan. Mereka mondar-mandir ke sana-kemari. Bertemu mereka kami menjadi seperti lupa tujuan semula. Dua klub menjadi satu, canda sana canda sini, dan waktu terus berlalu. Sesekali aku mengingatkan bagaimana kabar lokasi markasnya, namun kehadiran teman di depan mereka sepertinya jauh lebih menarik, sehingga tak ada respon yang betul-betul antusias.
Pada tahap ini, kupikir inilah saatnya dibutuhkan kesabaran. Maka, aku sabar menunggu sambil sesekali juga ikut bercanda dengan mereka. Kulirik si Siddiq Uchiha, dia sedang membidik kumpulan anak-anak ini dengan kamera. Good, hari pertama ini memang harus ada yang mengabadikan momentnya.
Sabar, adalah kuncinya. Termasuk ketika hingga adzan ashar tiba, tanda usainya pertemuan, anak-anak belum juga menemukan dimana markasnya. Lumayanlah, cukup dulu untuk hari ini. It"s good enought for today, alhamdulillah.
(Note : First posting at 31 Januari 2008. Ekskul ini tak lama kemudian diberi nama oleh anak-anak : PhotographX)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar