“Menulis itu gampang.” Sungguhkah? Ya, tentu saja. Sebab, menulis sebenarnya cuma kegiatan memindahkan saja pikiran yang ada di kepala ke atas kertas atau monitor. Selama akal masih mampu berpikir berarti selama itu pula kita akan bisa menulis. Masalah sesungguhnya bukan pada bisa atau tidak bisa, tapi lebih pada kekuatan political will alias niat. Sebagian orang menyebutnya dengan mood.
Jika kita seorang guru, pendamping, atau pembina dari aktivitas menulis khususnya ekstrakurikuler jurnalistik (ada juga yang menamai : Klub Menulis, Writing Club, Eskul Penulisan, dan Eskul Creative Writing), maka inilah yang menjadi brainstorming pertama saat kelas menulis di buka. Kita sebaiknya menggunakan paradigma terbalik saat berbicara tentang mood dan ide.
Mengutip Inspiring Words for Writers-nya Fauzil Adhim (2005), bahwa ketika banyak orang menunggu mood untuk menulis, maka bagi penulis sejati, mood untuk menulis itu justru bangkit sendiri karena kuatnya keinginan untuk menyampaikan ilmu dan kebenaran. Jangan sampai pula kita berlelah-lelah mencari ide menulis, sebab yang benar adalah biarkan ide yang mengejar kita. Buatlah ide-ide itu bersabar mengantre, menanti kita menulisi mereka.
Kuncinya adalah menumbuhkan kepekaan hati. Seorang penulis bisa dipastikan memiliki kepekaan hati yang berlebih. Ia memiliki ketajaman visual. Mampu melihat sesuatu di luar apa yang bisa dilihat. Ide itu mungkin awalnya lahir dari hal sederhana dan jamak ada, namun menjadi kompleks dan bernilai istimewa di tangan penulis. Contohnya pada kisah Ali dan Fatimah dalam Children of Heaven yang terinpirasi dari sepasang sepatu butut.
Berbasis Kecerdasan Majemuk
Semangat menulis yang mulai tumbuh kemudian dipelihara melalui beragam cara belajar. Penulis pernah mencoba cara klasikal yang homogen. Mengupas satu materi, semisal menulis cerpen, untuk semua siswa. Konsekuensinya beberapa murid tampak antusias, beberapa yang lain merespon biasa-biasa saja. Bahkan saat sesi praktik menulis, ada yang tak menulis satu kata pun dan malah menggambar. Mulanya, penulis menyoalkan itu. Namun kemudian, seiring bertambahnya pengalaman, penulis menyadari bahwa yang dihadapi sebenarnya bukanlah murid yang malas, tetapi soal majemuknya potensi kecerdasan, keminatan dan talenta (bakat). Sebab, saat materinya berganti ilustrasi, justru anak-anak cerpen yang kemudian menjadi tak antusias.
Cara klasikal homogen, sebagaimana cara yang biasa digunakan guru di kelas-kelas, memang membawa efek kepuasan psikologis pada diri guru. Guru merasa plong setelah berhasil merampungkan presentasi ala seminar di depan murid-murid. Namun, perlu dicermati, karena terkadang malah, presentasi itu memakan waktu separoh dari jatah waktu yang ada. Sehingga, murid hanya punya waktu separohnya lagi untuk berkarya. Waktu yang sempit ini, biasanya menyisakan persoalan pembuatan karya yang tak tuntas. Jangan harap karya ini bisa dilanjutkan di rumah. Karena tentu saja, mereka sudah terbebani dengan tugas sekolah (PR) yang harus dikerjakan. Disambung minggu depannya, problem baru sudah menghadang, aura yang sudah berubah atau ide baru yang lebih menggoda.
Berkaca dari problem di atas, maka kemudian penulis mengadopsi prinsip kecerdasan majemuk sebagai metode belajar eskul jurnalistik (sedang dicobakan di SMP Al-Azhar 14). Jika dibedah, paling tidak ada empat sampai lima aktivitas utama dalam eskul jurnalisitik, yaitu : jurnalisme, writing, drawing, fotografi, dan video-sinematografi. Beberapa sekolah sudah bisa memisahkan tiga yang terakhir sebagai eskul tersendiri. Pembedahan ini berguna untuk pengklasifikasian keminatan sejenis pada diri siswa.
Bahasan jurnalisme adalah seputar keredaksian dan penerbitan, termasuk di antaranya ketrampilan menulis berita, feature, wawancara, dan liputan (reportase), mading, buletin, majalah, broadcasting, dan desain grafis. Writing berorientasi pada karya berbasis teks, semisal cerpen, puisi, novel, opini, esai, antologi, atau tulisan ilmiah termasuk blogging. Drawing mewadahi minat terhadap rupa, seperti sketsa, ilustrasi, komik, manga, karikatur, dan kartun. Fotografi mengapresiasi karya foto plus editing grafisnya. Sinematografi mengapresiasi pada proses karya audiovisual, yang berpijak pada alat multimedia, editing, penulisan skenario, story board, beserta proses kreatif di dalamnya.
Kemudian, bersama siswa, kita menentukan skala prioritas materi yang hendak dipelajari bersama lebih dulu. Dan juga membentuk grup-grup berbasis keminatan yang sama. Grup inilah yang kemudian akan mendiskusikan luaran (output) karyanya. Meski telah terbagi menjadi beberapa kelompok, ruh kebersamaan tetaplah menjadi utama. Sehingga, kelompok mading bisa saja minta bantuan kelompok fotografi untuk mengambil beberapa angle bidikan tertentu, dan bentuk kerja sama lainnya.
Jadi, suasana kelas sekarang menjadi hiruk pikuk. Di pojok ada grup mading yang sedang berdiskusi menentukan headline dan content. Di pojok lain ada grup mini magz (majalah mini) sedang membagi tugas peliputan. Ada juga sekelompok murid yang sedang mencoret-coret sketch book dengan karya Manga. Ada juga yang bertebaran di sekitar sekolah, mereka memotret, men-shooting dengan handycam, mewawancarai orang dan sebagainya.
Guru tinggal keliling memastikan setiap orang berkerja, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang (pasti) timbul dari murid-murid, mengkritisi beberapa bagian-bagian karya. Juga bisa mejelaskan beberapa hal baru yang sekiranya relevan diketahui oleh suatu grup belajar. Luaran dari metode ini kira-kira nanti adalah berwujud : buku manga, buku antologi, mading, minimagz, slide show atau album foto, dan film indie (baik dokumenter maupun cerita).
Pertemuan berikutnya agendanya jelas, yaitu merampungkan karya mereka. Pada suatu waktu tertentu, misalnya akhir semester atau open house sekolah, karya-karya mereka bisa menjadi bahan pameran karya siswa yang menarik. Metode ini bisa diperkaya dengan melakukan kunjungan ke tempat-tempat relevan, misalnya kantor media massa, penerbitan, stasiun TV dan radio. Atau bisa pula mengundang penulis untuk berbagi pengalaman suka duka dalam menulis.
Namun, bukan berarti eskul berbasis kecerdasan majemuk ini tak menemui kendala sama sekali. Kendala utama biasanya justru datang dari pihak komunitas guru sendiri. Maka, peran kepala sekolah disini menjadi penting untuk menciptakan atmosfer toleransi dan akomodatif terhadap banyak gaya belajar. Sebab, mungkin saja belum menjadi kebiasaan di suatu sekolah, jika menemukan beberapa muridnya berkeliaran sementara yang lain anteng di dalam kelas.
Kedua, membutuhkan sarana dan fasilitas. Jika sekolah tak bisa menyediakan, mungkin murid dan orang tua bisa membantu memfasilitasi dengan memberikan kepercayaan pada anak untuk membawa recorder, laptop, kamera digital, handycam, dan perangkat-perangkat lainnya ke sekolah. Ketiga, selain membutuhkan guru multitalenta, guru juga dituntut kegesitan dan kepekaannya untuk melihat kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi murid-murid. Karena mereka membuat karya yang berbeda pada saat yang bersamaan. Perbedaan perlakuan bisa membuat guru dicap pilih kasih.
Tapi, apapun kendala itu, keceriaan dan antusiasme murid-murid saat mengikuti eskul jurnalistik adalah motivasi tersendiri bagi guru pembina atau pendampingnya. Sebab, antusias terhadap ilmu adalah pintu gerbang pertama yang menandai berhasilnya sebuah ilmu mengkarakter dalam diri anak. Dan remaja yang berkarakter, itulah salah satu yang sedang dibutuhkan bangsa ini untuk bangkit. Itu jauh lebih baik ketimbang mengucap berkali-kali naskah Sumpah Pemuda tapi cuma terhenti sampai ujung lidah.
(First Posting : 28 Oktober 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar