Live in, adalah salah satu metode belajar Ekskul Jurnalistik Spalza yang paling ditunggu-tunggu oleh anak-anak. Sejauh ini, telah dua kali Live in dilakukan. Yang pertama di desa Kalibening Salatiga, dan yang kedua di Yoss Traditional Centre (YTC) yang berlokasi di Ungaran. Partnerku, Mbak Noni menuliskan reportase Live in di YTC awal tahun 2011 ini, yang sempat dimuat harian Suara Merdeka Minggu. Berikut tulisannya :
***
Kebayang nggak sih kalau harus tinggal jauh dari keramaian dengan fasilitas terbatas? Padahal, kalian biasa nonton acara favorit di tivi kabel, tidur di kamar yang hangat, makan enak plus antar jemput ke sekolah pake mobil keren.
Nah, kekhawatiran ini sempat menghantui 50-an siswa SMP Al Azhar 14 (Spalza) Banyumanik yang tergabung dalam ekskul (ekstra kulikuler) jurnalistik di sekolahnya.
Sabtu pekan lalu (28/1), mereka berada di Yoss Traditional Center (YTC). Selama 2 hari satu malam mental dan kreatifitas mereka digembleng di tempat yang terletak di lereng Gunung Ungaran. Tepatnya di Dusun Suruhan, Desa Keji, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Jaraknya sekitar 26 kilometer dari Kota Semarang.
”Program outing ini jadi bagian dari ekskul jurnalistik. Selain untuk mencari ide proyek jurnalistik juga memperkaya pengalaman anak-anak untuk menumbuhkan jiwa kebersamaan,” jelas Sri Hartatik Spd, Koordinator ekskul jurnalistik.
Ide proyek? Maksudnya, selama outing masing-masing siswa yang tergabung dalam kelompok menulis, fotografi, manga dan sinematografi wajib membuat sebuah karya yang nantinya akan dipersentasikan didepan teman –teman lain.
”Semua bisa dijadikan materi proyek. Mulai dari village exploration, susur sungai, kemudian memerah susu sapi, bermain aneka dolanan anak tradisional hingga pengalaman selama homestay,” imbuh guru yang juga mengajar pelajaran Bahasa Indonesia ini.
Wah, gimana nggak seru? mereka diajak susur sungai dangkal sepanjang 2 kilometer dengan pamandangan areal persawahan terasiring yang membelah areal persawahan dusun Suruhan.
Meski sesekali terdengar teriakan karena menapaki bebatuan tanpa alas kaki, hujan cukup deras yang mengganggu perjalanan dan pertanyaan berulang ”Masih jauh nggak Buu...”
Tapi rintangan itu tak menyurutkan semangat untuk sampai ke mata air dan meneguk kesegaran air minum yang langung dari sumbernya. Rasa lelah jadi hilang. Hmm..segaaaarr.
”Seru abis deh, jadi pengalaman tak terlupakan. Apalagi pas hampir terpeleset kita saling pegangan tangan. Dari situ kita belajar kebersamaan dan saling membantu,” ujar Deddy Randah siswa kelas VIII yang jadi peserta cowok satu-satunya.
Nggak berhenti disitu, kegiatan berlanjut ke peternakan sapi tradisional milik warga. Peserta outing mengamati dan belajar memerah susu sapi. ”Huu, bau..” ujar mereka hampir bersamaan sambil menutup hidung.
Rasa takut mendekati sapi perah dan mencium aroma kandang yang menyengat mampu dikalahkan. Satu persatu berhasil mencoba memeras susu sapi.
” Hihiiii...rasanya geli-geli gimana gitu waktu memerah susu, tapi susunya enak juga,” cerita Luthfia Ariska dari kelas VII sambil meminum susu yang udah diolah dan disediakan pemilik peternakan.
Keasyikanpun bertambah ketika menjelang malam api unggun tersulut dalam dinginnya malam keakraban yang dihangatkan dengan bakar jagung dan berbagai atraksi seperti menyanyi dan puisi.
Paginya, village exploration alias jelajah desa tak terlewatkan, siswa diajak menikmati udara sejuk nuansa khas pedesaan dan bermain aneka dolanan anak tradisional yang udah jarang ditemuin di kota seperti teklek, sprinto karet, dan dakon. Permainan tradisional yang mengajarkan nilai sosial, menanamkan sifat tekun, kebersamaan, dan kejujuran. Juga egrang, yang melatih keseimbangan tubuh dan otak.
Tapi nggak cuman itu aja. Untuk belajar beradaptasi, mereka tinggal dengan penduduk setempat dan menjadi bagian dari keluarga yang mereka tempati. Tidur, makan, membaur bersama kelurga baru.
”Katanya makanannya enak,” ujar Tara Sabila dan Nadira sambil menyantap sarapan sayur lodeh dan ikan asin bikinan Mbah Nar.
Melihat keduanya, Sri Hartatik sempat kaget.”Nggak nyangka mereka suka makanannya bahkan sampai nambah berkali-kali. Padahal di sekolah mereka jarang makan sayur.”
Masing-masing mendapatkan pengalaman berbeda.”Aku dapet rumah paling jauh dan harus jalan kaki. Lumayan pegel tapi jadi ngerti bagaimana rasanya jadi mereka,” ungkap Averose, siswa kelas VII.
Lain halnya dengan pengalaman Tri citra nurjihan dan Asyifa Zahra yang tinggal di rumah pak Supadi. ”Asyik. Orangtuaku disini baik banget, meski harus tidur dibawah tapi makan disiapin, mandi disediain air hangat. Mungkin karena udah nggak punya anak jadi mereka sayang banget,” kata siswa kelas VIII ini bersemangat.
Akhirnya seluruh kegiatan ditutup dengan gelar karya dan farewell party dari warga dengan menampilkan atraksi seni budaya lokal masyarakat setempat. Pertunjukkan kuda gebog anak-anak, sejenis kuda lumping yang terbuat dari pelepah pisang menjadi penutup kebersamaan mereka di YTC.
Meski singkat dan cukup melelahkan, kekhawatiran itupun hilang dan berganti dengan pengalaman batin yang seru en nggak terlupakan. Semoga bermanfaat buat kedepan ya...
0 komentar:
Posting Komentar